Tarian khas Jawa Barat
Tari Topeng adalah tarian yang
penarinya mengenakan topeng. Topeng telah ada di dunia sejak
zaman pra-sejarah. Secara luas digunakan dalam tari yang
menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita-cerita kuno
dari para leluhur. Diyakini bahwa topeng berkaitan erat dengan roh-roh leluhur
yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Pada beberapa suku, topeng masih
menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari-hari.
Cerita klasik Ramayana dan cerita Panji yang
berkembang sejak ratusan tahun lalu menjadi inspirasi utama dalam penciptaan
topeng di Jawa. Topeng-topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari yang
menceritakan kisah-kisah klasik tersebut.
Tari Topeng dapat merujuk kepada
beberapa bentuk kesenian:
Macam Tari Topeng
Topeng Dayak
Di daerah Pulau
Kalimantan, suku Dayak menggunakan topeng dalam Tari Hudog yang sering
dimainkan dalam upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang.
Tari ini dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama
perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang
banyak. Topeng yang digunakan berwarna hitam, putih, dan merah yang
melambangkan kekuatan alam yang akan membawa air dan melindungi tanaman yang
mereka tanam hingga musim.
Topeng Bali
Keberadaan topeng
dalam masyarakat Bali berkaitan erat dengan upacara keagamaan
Hindu,
karena kesenian luluh dalam agama dan masyarakat.
Tari
Topeng Bali adalah
sebuah tradisi yang kental dengan nuansa ritual magis, umumnya yang ditampilkan
di tengah masyarakat adalah seni yang disakralkan. Tuah dari topeng yang
merepresentasikan dewa-dewa dipercaya mampu menganugrahkan ketenteraman dan
keselamatan.
Topeng Cirebon

Menulis
tentang keberadaan seni Tari Topeng Cirebon dengan kaitannya di dalam Keraton
Cirebon, maka tidak bisa lepas dari perjalanan sejarah berdirinya Penguasa
Islam di daerah pesisir ini.Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai
Pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan
Cirebon di Jawa Barat. Tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang dari daerah
Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memiliki pusaka sebuah pedang
bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang
bisa menandingi kesaktian Pangeran Welang. dalam keadaan kritis maka diputuskan
bahwa utnuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan
diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati,
Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga maka terbentuklah team kesenian dengan
penari yang sangat cantik yaitu Nyi Mas Gandasari dengan syarat penarinya
memakai kedok/topeng.
Mulailah team kesenian ini mengadakan pertunjukan
ke setiap tempat seperti lazimnya sekarang disebut ngamen. dalam waktu singkat
team kesenian ini menjadi terkenal sehinga Pangeran Walang pun penasaran dan
tertarik untuk menontonnya. Setelah pangeran Walang menyaksikan sendiri
kebolehan sang penari, seketika itu pula dia jatuh cinta, Nyi Mas Gandasari pun
berpura – pura menyambut cintanya dan pada Saat Pangeran Walang melamar maka
Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan Pedang Curug Sewu. Pangeran Walang tanpa
pikir panjang menyerahkan pedang pusaka tersebut bersamaan dengan itu maka
hilang semua kesaktian Pangeran Walang.
Dalam keadaan lemah lunglai tidak berdaya
Pangeran Walang menyerah total kepada sang penari Nyi Mas gandasari dan memohon
ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberi
ampun dengan syarat harus memeluk agama Islam. Setelah memeluk agama Islam
Pangeran Walang dijadikan petugas pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi
Pangeran Graksan. Sedangkan para pengikut Pangeran Walang yang tidak mau
memeluk agama Islam tetapi ingin tinggal di Cirebon, oleh Sunan Gunung Jati
diperintahkan untuk menjaga keraton – keraton Cirebon dan sekitarnya.( Cerita
ini diambil dari buku Babad Cirebon Carang Satus dan pernah dipentaskan melalui
pagelaran Wayang Golek Cepak oleh Dalang Aliwijaya di Keraton Kacirebonan
Cirebon ).Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bisa dijadikan penangkal
serangan dari kekuatan – kekuatan jahat maka pihak penguasa Cirebon menerapkan
kesenian topeng ini untuk meruat suati daerah yang dianggap angker. Dan
kelanjutannya kesenian topeng ini masih digunakan di desa – desa untuk upacara
ngunjung, nadran, sedekah bumi dan lain – lainnya. Setelah masyarakat menerima
tradisi meruat itu, di samping harus ada pagelaran wayang kulit juga harus
menampilkan tari topeng, maka tumbuh suburlah penari – penari topeng di
Cirebon. Namun yang mula – mula menarikan tari topeng ini kebanyakan para
dalang wayang kulit yang sebelum pentas wayang, pada siang hari sang dalang
harus menari topeng terlebih dahulu. Oleh karenanya para dalang wayang kulit
yang lahir sebelum tahun 1930 diwajubkan untuk mendalami tari topeng terlebih
dahulu sebelum menjadi dalang wayang kulit. Dalam hubungannya pihak keraton
selalu melibatkan kesenian untuk media dakwah dalam penyebaran agama Islam, dan
pihak keraton memberikan nama Ki Ngabei untuk seniman yang juga berdakwah.Kesenian
tari topeng Cirebon menjalankan sisi dakwah keagamaan dengan berpijak kepada
tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 (empat) tingkatan yang
biasa disebut : Sareat, Tarekat, Hakekat dan Ma’ripat.
sumber : https://www.google.com
www.wikipedia.com